Rabu, 18 Maret 2015

Seputar Lanjut Sekolah

Heiho! 


Dokter maupun calon dokter pasti pernah ditodong dengan pertanyaan "jadi mau lanjut spesialis apa, dok?". Lalu tiba-tiba tergalau sendiri.

Sepanjang preklinik maupun coass, pertanyaan mau lanjut apa dan peranakannya memang momok bagi saya. Kenapa? Ya karena lanjut spesialis itu butuh biaya, pengertian dan dukungan dari keluarga, pemikiran yang matang terutama "hitung-hitungan-masa depan". Istilahnya bukan perkara yang sembarangan comot. 

Mari berandai: seandainya premis awal yaitu umur, dukungngan, biaya dan kesempatan terpenuhi, mau pikir apa lagi? Ya tentunya spesialisasi apa. Pikiran pertama, ya lahan yang digemari. Lha? Hampir semua cabang ilmu saya sukai (ok, mari kita tutup mata dan pasrah pada sub immunologi yang ribet, hehe). Oke maju ke topik kuliah yang membuat jatuh cinta pada kedokteran. Kalau saya, ya Onkologi. Masalahnya onkologi sekarang sudah menjadi subspesialisasi di tiap bagian. (Oke, mari tambah bingung).

Kedua, pasien-yg-diharapkan. Oke, saya tidak berharap ada orang yang sakit ya, justru saya paling tidak berharap bertemu dengan pasien anak dan manula. Alasannya simple: siapa yang tega melihat 'mereka' sakit. Tapi, setelah akhirnya (tersadarkan) mengurus Alm. Nenek Nun, saya baru sadar dokter yang fokus ke geriatri masih sedikit di Makassar. Tidak jarang ketemu pasien geriatri, tidak lama saya malah nangis di pojokan (harap maklum, masih berduka). Selain itu, makin ke sini, kesempatan jadi asisten dokter spesialis justru kebanyakan dapat kasus anak. Rencana Allah memang hebat ya?

Suatu malam keluarga pasien berkata "Dok, masuk Anak aja dok" lalu dengan cepat "Hmm, sepertinya tidak Bu". Am I the only one who said like that? Yah, saya masih cemen untuk ambil resiko itu, meskipun cuma rencana, haha.

Ketiga, prospek ke depan. Tidak munafik, semua pekerjaan selayaknya bisa memberikan penghidupan yang 'dianggap' sesuai. Cabang ilmu yang ini berkembang tidak di masa depan? Diperlukan masyarakat tidak? Nah, kalau jadi spesialis mau tinggal dimana? Di kota A, dokter spesialis XX, YY sudah ada. Terus? Kalaupun dipaksakan di kota A, bergantung lagi dari kelebihan jasa yang ditawarkan supaya bisa tetap dianggar. Misalnya keramahan, tempat praktek yang strategis, obat murah, obat mujarab, dan perakannya yang tentu saja membutuhkan reputasi, relasi, dan pengalaman yang mesti digali dulu. Hal ini mungkin butuh waktu bertahun-tahun. Yah, saya berharapnya sih, suatu hari nanti saya punya pasien "fanatik". Sekarang kalau ditungguin datang sama pasien saja, serasa mau kasih kue ke pasiennya saking saya merasa terharu, hehehe.

Akhir kata, saya masih bingung. Apalagi premis awal belum terpenuhi, hehe. Namanya juga anak muda (?) Jalani saja dulu~ 

Jumlah Anak (?)

Saya ingin punya anak tiga. Itu kataku. Lalu entah apa memang benar sengaja ingin menyulut pertengkaran, kamu katakan hanya ingin satu anak saja. Kamu tak ingin berbagi diriku dengan banyak anak, itu alasanmu. Lalu saat itu, menurutku kamu egois.

Mudah saja saya menyebut jumlah anak. Saya belum berpikir sejauh itu. Sebatas ingin, tapi tidak ada rencana lebih. Pikirku akan ramai bila jumlahnya segitu. Saya tidak akan kesepian. Belum terpikir biaya dan bagaimana cara saya membesarkan anak sebanyak itu. Pikiran saya masih dangkal.

Rupanya punya anak tidak segampang itu. Ribet urusannya. Belum hadir saja sudah jadi buah bibir mengapa belum hadir. Padahal kalau sudah hadir, belum tentu bisa diurus. Belum lagi masalah pendidikan dan biaya lainnya, ribet. Sepertinya memang mimpi saya tidak realistis.

Kalau begitu mari berandai anak kita satu. Kali ini biarkan saya berharap itu anak lelaki. Biarkan saya sedikit cerewet dengan anak kita kelak. Toh cinta untuk tiga anak dipadatkan untuk satu. Saya berjanji akan terus berupaya agar keluarga kita kokoh dan berbahagia.

Masalahnya sekarang, hidup masih menawarkan banyak kemungkinan. Mungkin saja tidak akan ada anak kita. Mungkin kita akan membangun keluarga dengan orang lain. Memiliki anak yang wajahnya tentu bukan perpaduan saya dan kamu. Atau mungkin bahkan tak punya anak, bahkan melajang seumur hidup. Semoga tidak.

Akhirnya saya mengerti. Saya yang egois. Ini bukan masalah jumlah. Saya hanya ingin membina keluarga denganmu. Selanjutnya, saya pasrahkan.