Sabtu, 26 Juli 2014

Musuh Dini Musuh

Beberapa teman bertanya "Din, banyaknya musuhmu di'?". Kalau dikonfirmasi seperti ini saya juga bingung sendiri. Musuh seperti apa maksudnya?
Lalu saya teringat. Oh, mungkin maksudnya orang yang tidak menyukai saya. Ya kalau dipikir-pikir sedih juga ada yg tidak senang dengan kita. Padahal saya sama sekali tidak pernah bermaksud jahat pada siapa pun. Dan saya tidak sedang (Alhamdulillah) membenci siapapun.
Bertindak baik ke orang pun tidak jarang ada saja yang terlewatkan. Itu karena tidak mungkin kita bisa membahagiakan semua orang. Dan kecewa yang muncul dari orang lain yang terlewatkan itulah asal mula permusuhan. Tapi bukankah munafik bila kita berpura-pura baik atau perhatian terhadap orang lain? Jadi kalau ada yang kecewa ya mohon maaf saya pribadi tidak seperti apa yang mereka harapkan.
Tapi kalau ditelaah lagi, lebih banyak orang baik dalam hidup saya. Dan untuk itu saya bersyukur kepada Allah karena saya tidak diperlakukan selayaknya musuh-Nya. Cinta-Nya selalu menyertai saya melalui orang-orang baik itu. Lantas kenapa saya mesti terus bersedih meratapi 'musuh' saya?
Saya ingat seorang ulama pernah berceramah tentang kesabaran menghadapi musuh. Katanya, jangan merasa terbebani untuk sabar menghadapi musuh. Anggap saja sebagai ladang amal. Asal kita sabar dan tidak membalas dendam.
Jadi kalau ada lagi yang bertanya "bagaimana hubunganmu dengan musuhmu?", saya akan menjawab "Musuh? Saya tidak merasa tuh punya. Tapi kalau ladang amal, ada, selama saya sabar. Mohon doanya" :)

Sahur tanpa Mama

Mama, hari ini saya telah berburuk sangka. Saya kira hari ini akan buruk, tidak menyenangkan. Beribu rasa curiga muncul, dan membuat hati tak ikhlas.
Mama, terima kasih engkau telah membesarkan hatiku. Tanpamu saya sulit untuk mengikhlaskan apa yg kujalani saat ini. Ternyata benar, selalu ada berkah di ujung doamu.
Mama, berat rasanya tidak makan sahur denganmu hari ini. Tapi Alhamdulillah, ada saja rezeki berkat doamu.

Malam itu

Malam itu dengan segala sikap dan tindak tandukmu, kau menghancurkan hatinya. Menghindar, menepis kehadirannya, menjadikannya orang asing. Orang yang tak tahu akhirnya pun akan tahu bahwa kisah kalian sudah usai. Meski coba tutupi, sikapmu sudah membongkar semuanya.
Malam itu anehnya dirinya tak sedih. Tak juga ingin menangisi sikapmu. Karena dia tahu yang tadi itu bukan dirimu. Dirimu sungguh pribadi yang penyayang, bukan penghancur hati. Atau karena dia tak berharap apapun. Dia mengira reaksimu jauh lebih buruk daripada yang tadi kamu perlihatkan.
Malam itu ketika kesepian sudah menyapa, kesedihan pun menggoda dan membuat matanya perih. Seperti ingin menangis. Tangisan yang sedari tadi coba dia tahan. Tapi tak jadi. Setelah dia membaca pesanmu. Entah kenapa engkau selalu datang memercikkan harapan tepat sebelum terucap kata menyerah.
Malam itu dia masih setia menunggumu menjemputnya.

Menyerah (?)

Dan disinilah dia, di kamar. Merenung. Terisak. Berlinangan air mata untuk hal yang sama meski pemeran utamanya berganti: putus harapan. Dia mengira rasanya akan beda atau sedikit lebih kebal bila pemeran utamanya berbeda. Ternyata tidak. Justru membawa rasa takut hal ini akan berakhir sama dengan cerita lalu. Ya, menyerah pada harapan.
Dulu rasanya seperti satu per satu orang yang dia sayangi direnggut dari sini. Sehingga merelakan ialah suatu keputusasaan akan hari dimana matahari bersinar cerah setelah badai berkepanjangan. Lalu tak lama, raganya seperti ada di tengah lautan luas. Tercebur dalam kegamangngan. Tapi tak lama ada cahaya yang menjadi penuntun untuk kembali menapak di tanah. Dan dia bahagia.
Kini sederhana rupanya tidak cukup lagi. Rasanya aneh bila mengatakan tidak ada yang salah tetapi situasi dan sikap telah berubah. Mengapa bisa terjadi? Sang cahaya mengatakan untuk beristirahat sejenak selagi menata kehidupan. Tak bisa masuk akalnya bagaimana bisa perasaan itu sekedar istirahat? Tidakkah sebelumnya sudah berniat untuk menata kehidupan secara bersama?
Malam ini semua kenangan manis terulang kembali. Rasanya tak mungkin baginya bisa menepis dan mulai fokus dengan hal lain. Semua kenangan itu terulang dan membuat hati ini semakin hancur. Seakan akan ada yang segera mengatakan: "menyerahlah".