Senin, 15 Februari 2016

Heartbreaking.


And it happened again . Drama. I never intended to make - another drama. Because it is not easily resolved . And it’s heartbreaking . The worst point is that every time I get sad, I came back to remember all the good memories I have. I remember you :(

I think I 've lost my memory about you . The truth is you are the missing piece of my happiness . Being with you is irrational . Dream. Sweet little dreams . I'm afraid to wake up and realize that you're not real to me . You said I would go back to my consciousness and leave you behind . But for me, there is no such thing as a future for me as long as you do not exist . You might think I'm over - exaggeration to say that. But , It's been years and I don't feel okay .

It wasn’t always clear, there were also shadows . But it all seemed so right when we were together.

Rabu, 18 Maret 2015

Seputar Lanjut Sekolah

Heiho! 


Dokter maupun calon dokter pasti pernah ditodong dengan pertanyaan "jadi mau lanjut spesialis apa, dok?". Lalu tiba-tiba tergalau sendiri.

Sepanjang preklinik maupun coass, pertanyaan mau lanjut apa dan peranakannya memang momok bagi saya. Kenapa? Ya karena lanjut spesialis itu butuh biaya, pengertian dan dukungan dari keluarga, pemikiran yang matang terutama "hitung-hitungan-masa depan". Istilahnya bukan perkara yang sembarangan comot. 

Mari berandai: seandainya premis awal yaitu umur, dukungngan, biaya dan kesempatan terpenuhi, mau pikir apa lagi? Ya tentunya spesialisasi apa. Pikiran pertama, ya lahan yang digemari. Lha? Hampir semua cabang ilmu saya sukai (ok, mari kita tutup mata dan pasrah pada sub immunologi yang ribet, hehe). Oke maju ke topik kuliah yang membuat jatuh cinta pada kedokteran. Kalau saya, ya Onkologi. Masalahnya onkologi sekarang sudah menjadi subspesialisasi di tiap bagian. (Oke, mari tambah bingung).

Kedua, pasien-yg-diharapkan. Oke, saya tidak berharap ada orang yang sakit ya, justru saya paling tidak berharap bertemu dengan pasien anak dan manula. Alasannya simple: siapa yang tega melihat 'mereka' sakit. Tapi, setelah akhirnya (tersadarkan) mengurus Alm. Nenek Nun, saya baru sadar dokter yang fokus ke geriatri masih sedikit di Makassar. Tidak jarang ketemu pasien geriatri, tidak lama saya malah nangis di pojokan (harap maklum, masih berduka). Selain itu, makin ke sini, kesempatan jadi asisten dokter spesialis justru kebanyakan dapat kasus anak. Rencana Allah memang hebat ya?

Suatu malam keluarga pasien berkata "Dok, masuk Anak aja dok" lalu dengan cepat "Hmm, sepertinya tidak Bu". Am I the only one who said like that? Yah, saya masih cemen untuk ambil resiko itu, meskipun cuma rencana, haha.

Ketiga, prospek ke depan. Tidak munafik, semua pekerjaan selayaknya bisa memberikan penghidupan yang 'dianggap' sesuai. Cabang ilmu yang ini berkembang tidak di masa depan? Diperlukan masyarakat tidak? Nah, kalau jadi spesialis mau tinggal dimana? Di kota A, dokter spesialis XX, YY sudah ada. Terus? Kalaupun dipaksakan di kota A, bergantung lagi dari kelebihan jasa yang ditawarkan supaya bisa tetap dianggar. Misalnya keramahan, tempat praktek yang strategis, obat murah, obat mujarab, dan perakannya yang tentu saja membutuhkan reputasi, relasi, dan pengalaman yang mesti digali dulu. Hal ini mungkin butuh waktu bertahun-tahun. Yah, saya berharapnya sih, suatu hari nanti saya punya pasien "fanatik". Sekarang kalau ditungguin datang sama pasien saja, serasa mau kasih kue ke pasiennya saking saya merasa terharu, hehehe.

Akhir kata, saya masih bingung. Apalagi premis awal belum terpenuhi, hehe. Namanya juga anak muda (?) Jalani saja dulu~ 

Jumlah Anak (?)

Saya ingin punya anak tiga. Itu kataku. Lalu entah apa memang benar sengaja ingin menyulut pertengkaran, kamu katakan hanya ingin satu anak saja. Kamu tak ingin berbagi diriku dengan banyak anak, itu alasanmu. Lalu saat itu, menurutku kamu egois.

Mudah saja saya menyebut jumlah anak. Saya belum berpikir sejauh itu. Sebatas ingin, tapi tidak ada rencana lebih. Pikirku akan ramai bila jumlahnya segitu. Saya tidak akan kesepian. Belum terpikir biaya dan bagaimana cara saya membesarkan anak sebanyak itu. Pikiran saya masih dangkal.

Rupanya punya anak tidak segampang itu. Ribet urusannya. Belum hadir saja sudah jadi buah bibir mengapa belum hadir. Padahal kalau sudah hadir, belum tentu bisa diurus. Belum lagi masalah pendidikan dan biaya lainnya, ribet. Sepertinya memang mimpi saya tidak realistis.

Kalau begitu mari berandai anak kita satu. Kali ini biarkan saya berharap itu anak lelaki. Biarkan saya sedikit cerewet dengan anak kita kelak. Toh cinta untuk tiga anak dipadatkan untuk satu. Saya berjanji akan terus berupaya agar keluarga kita kokoh dan berbahagia.

Masalahnya sekarang, hidup masih menawarkan banyak kemungkinan. Mungkin saja tidak akan ada anak kita. Mungkin kita akan membangun keluarga dengan orang lain. Memiliki anak yang wajahnya tentu bukan perpaduan saya dan kamu. Atau mungkin bahkan tak punya anak, bahkan melajang seumur hidup. Semoga tidak.

Akhirnya saya mengerti. Saya yang egois. Ini bukan masalah jumlah. Saya hanya ingin membina keluarga denganmu. Selanjutnya, saya pasrahkan.

Senin, 29 Desember 2014

Penasaran

Saya tahu kamu masih hidup, makanya saya tidak menghubungimu. Tapi saya penasaran, bagaimana kamu hidup tanpaku? Bagaimana hidupmu memang bukan urusanku lagi, harusnya bukan hal yang harus saya khawatirkan. Tapi... :)

Saya juga melanjutkan hidup tanpamu. Entah menurut pendapatmu ataupun mereka usahaku berhasil apa tidak. Tapi saya masih hidup dan melakukan hal-hal yang saya anggap baik. Walaupun dulu saya pernah merasa tak bisa hidup tanpamu, buktinya saya masih bisa bernapas, kok. Kamu pasti juga begitu ya? Hehehe

Perlu saya akui kadang saya masih penasaran dengan hidupmu. Maafkan saya bila itu mengganggu. Entah saya masih sayang atau hanya kekurangan bahan untuk dipikirkan. Tenang saja, saya berusaha untuk menekan rasa penasaran saya. Tidak perlu kegeeran saya stalking, saya tidak sealay itu, haha. 

Kadang ketika saya melewati sesuatu, saya terbawa memori kita. Sedihnya karena itu sekedar kenangan. Senangnya karena ternyata masih ada hal yang baik yang bisa saya kenang tentangmu. Ya, saya inginnya hanya mengenang yang baik-baik saja

Malam ini mari kita berdoa, untuk didekatkan bila kita berjodoh, atau dipisahkan tanpa ada rasa penasaran lagi. Kalau bisa memilih kamu pilih yang mana?

Kalau pilihanku? Sepertinya masih kamu :p

Bercanda.
Saya juga masih penasaran dengan hati saya, haha

Sabtu, 26 Juli 2014

Musuh Dini Musuh

Beberapa teman bertanya "Din, banyaknya musuhmu di'?". Kalau dikonfirmasi seperti ini saya juga bingung sendiri. Musuh seperti apa maksudnya?
Lalu saya teringat. Oh, mungkin maksudnya orang yang tidak menyukai saya. Ya kalau dipikir-pikir sedih juga ada yg tidak senang dengan kita. Padahal saya sama sekali tidak pernah bermaksud jahat pada siapa pun. Dan saya tidak sedang (Alhamdulillah) membenci siapapun.
Bertindak baik ke orang pun tidak jarang ada saja yang terlewatkan. Itu karena tidak mungkin kita bisa membahagiakan semua orang. Dan kecewa yang muncul dari orang lain yang terlewatkan itulah asal mula permusuhan. Tapi bukankah munafik bila kita berpura-pura baik atau perhatian terhadap orang lain? Jadi kalau ada yang kecewa ya mohon maaf saya pribadi tidak seperti apa yang mereka harapkan.
Tapi kalau ditelaah lagi, lebih banyak orang baik dalam hidup saya. Dan untuk itu saya bersyukur kepada Allah karena saya tidak diperlakukan selayaknya musuh-Nya. Cinta-Nya selalu menyertai saya melalui orang-orang baik itu. Lantas kenapa saya mesti terus bersedih meratapi 'musuh' saya?
Saya ingat seorang ulama pernah berceramah tentang kesabaran menghadapi musuh. Katanya, jangan merasa terbebani untuk sabar menghadapi musuh. Anggap saja sebagai ladang amal. Asal kita sabar dan tidak membalas dendam.
Jadi kalau ada lagi yang bertanya "bagaimana hubunganmu dengan musuhmu?", saya akan menjawab "Musuh? Saya tidak merasa tuh punya. Tapi kalau ladang amal, ada, selama saya sabar. Mohon doanya" :)

Sahur tanpa Mama

Mama, hari ini saya telah berburuk sangka. Saya kira hari ini akan buruk, tidak menyenangkan. Beribu rasa curiga muncul, dan membuat hati tak ikhlas.
Mama, terima kasih engkau telah membesarkan hatiku. Tanpamu saya sulit untuk mengikhlaskan apa yg kujalani saat ini. Ternyata benar, selalu ada berkah di ujung doamu.
Mama, berat rasanya tidak makan sahur denganmu hari ini. Tapi Alhamdulillah, ada saja rezeki berkat doamu.

Malam itu

Malam itu dengan segala sikap dan tindak tandukmu, kau menghancurkan hatinya. Menghindar, menepis kehadirannya, menjadikannya orang asing. Orang yang tak tahu akhirnya pun akan tahu bahwa kisah kalian sudah usai. Meski coba tutupi, sikapmu sudah membongkar semuanya.
Malam itu anehnya dirinya tak sedih. Tak juga ingin menangisi sikapmu. Karena dia tahu yang tadi itu bukan dirimu. Dirimu sungguh pribadi yang penyayang, bukan penghancur hati. Atau karena dia tak berharap apapun. Dia mengira reaksimu jauh lebih buruk daripada yang tadi kamu perlihatkan.
Malam itu ketika kesepian sudah menyapa, kesedihan pun menggoda dan membuat matanya perih. Seperti ingin menangis. Tangisan yang sedari tadi coba dia tahan. Tapi tak jadi. Setelah dia membaca pesanmu. Entah kenapa engkau selalu datang memercikkan harapan tepat sebelum terucap kata menyerah.
Malam itu dia masih setia menunggumu menjemputnya.